Tokoh Pendiri/Pemula NU - KH. Wahab Hasbullah
Pengetahuan dasar keislaman didapat dari ayahnya sendiri di Jombang sebelum melanjutkan belajar ke tempat lain. Hingga usia 13 tahun, beliau belajar dari ayahnya antara lain Ilmu Tata Bahasa Arab, Tauhid, dan Fiqih.
Kemudian beliau melanjutkan belajarnya di luar Jombang. Mulanya, beliau belajar di Pesantren Pelangitan, Tuban selama 1 tahun. Lalu melanjutkan ke Pesantren Mojosari, Nganjuk atas bimbingan Kyai Saleh dan Kyai Zainuddin selama 4 tahun guna mendalami Kitab Fathul Muin (Fiqih). Kemudian ia menyempatkan pindah ke Pesantren Cepaka untuk mendalami ilmu sekitar 6 bulan, sebelum menimba ilmu di Pesantren Tawangsari, dekat Surabaya dibawah asuhan Kyai Ali guna mendalami kitab Fiqih, yaitu Kitab Iqna'. Setelah itu beliau mendalami tata Bahasa Arab dan Fiqih kepada KH. Muhammad Kholil di Pesantren Kedemangan, Bangkalan selama 3 tahun. Disinilah Kyai Wahab Muda disarankan untuk melanjutkan studinya di Pesantren Tebuireng, Jombang. Saran demikian juga biasa dipahami sebagai isyarat ketokohan sang Kyai (KH. Hasyim Asy'ari) di kalangan umat.
Namun, sebelum melaksanakan saran KH. Muhammad Kholil, Kyai Wahab Muda sempat belajar Tafsir Al-Qur'an, Teologi Islam, dan Tasawuf di Pesantren Branggahan, Kediri. Dibawah asuhan Kyai Faqihuddin, beliau menyelesaikan pelajarannya selama 1 tahun. Baru setelah itu, beliau memenuhi saran melanjutkan belajar di Pesantren Tebuireng, Jombang dibawah asuhan KH. Hasyim Asy'ari.
Dari pengalaman nyantri di berbagai pesantren dan menimba bermacam ilmu, maka Kyai Wahab Muda ditokohkan. Di Pesantren Tebuireng, beliau terpilih sebagai pimpinan pondok dan anggota kelompok musyawarah. Kelompok Musyawarah adalah forum kajian para ustadz senior yang setelah sekitar 10 - 20 tahun belajar ilmu di berbagai pesantren dan berpengalaman mengajar, dididik lagi oleh KH. Hasyim Asy'ari untuk menjadi Kyai atau Ulama. Kegiatan pokoknya berdiskusi, yaitu membahas berbagai persoalan agama dan sosial kemasyarakatan, baik yang ditanyakan masyarakat atau yang dilontarkan pengasuh forum.
Ternyata kelompok musyawarah itu efektif dan produktif. Diantara teman Kyai Wahab, seperti K. Manaf Abdul Karim (Pendiri PP. Lirboyo, Kediri) dan KH. As'ad Syamsul Arifin (Pengasuh PP. Sukorejo, Situbondo) yang menjadi Kyai masyhur di kemudian hari.
KH. Wahab Hasbullah tinggal di Pesantren Tebuireng selama 4 tahun. Selain menjadi pimpinan pondok dan mengikuti kegiatan kelompok musyawarah, beliau memanfaatkan waktu untuk mengajar para santri. Karenanya, selama berada di Pesantren Tebuireng waktunya banyak tercurah untuk mengembangkan kemampuan yang dimilikinya.
Kemampuan Kyai Wahab Muda semakin lebih mantap setelah beliau sempat menunaikan nasihat gurunya, yaitu agar sebelum pulang memimpin pondok menggantikan ayahnya, beliau menyempatkan diri belajar di Makkah. Nasihat itu dituruti dengan menempuh pelajaran di Makkah selama 4 tahun, sehingga beliau sempat berguru pada 6 guru terkenal, yaitu Syekh Mahfudz at-Termasy (asal Termas, Pacitan), K. Muhtaram (asal Banyumas), Syekh Ahmad Khatib (asal Minangkabau), K. Bakir (asal Yogyakarta), K. Asy'ari (asal Bawean), dan Syekh Abdul Hamid (asal Kudus).
Sukar menyebutkan secara rinci jasa KH. Wahab Hasbullah, baik ketika berjuang di zaman Belanda maupun ketika mengisi kemerdekaan. Sebagian dari jasa/hasil pemikirannya disebutkan sebagaimana berikut ini :
1. Perjuangan di Zaman Belanda
a. Tahun 1914 M., beliau bertemu K. Mas Mansoer mendirikan Taswirul Afkar, yaitu kelompok diskusi bagi penyaluran aspirasi pemuda dan himpunan pengikat potensi kepemudaan. Berbagai persoalan masyarakat dibicarakan dalam diskusi yang meliputi : Agama, Dunia Internasional, dan Aspirasi Nasional yang timbul akibat dari sistem penjajah.
b. Mendirikan Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air). Forum ini digunakan untuk menggembleng banyak ulama untuk membela tanah air dari cengkeraman penjajah di tanah air Indonesia.
c. Dari Nahdlatul Ulama, didirikanlah Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air). Forum ini berdirinya diprakarsai oleh Abdullah Ubaid yang lebih memperkuat operasional dari Nahdlatul Wathan. Ketiga forum di atas, yang pada hakikatnya merupakan 1 aliran, akhirnya melebur diri dalam 1 ikatan, yaitu Komite Hijaz yang dipimpin oleh KH. Wahab Hasbullah. Komite ini pada 31 Januari 1926 M., selain mengirimkan surat kepada Raja Ibnu Sa'ud juga mendirikan organisasi sosial keagamaan, yang terkenal dengan nama Nahdlatul Ulama (NU).
2. Perjuangan di Zaman Jepang
a. Membebaskan KH. Hasyim Asy'ari dan kyai lainnya dari penahanan Jepang. KH. Wahab Hasbullah menempuhnya melalui jerih payah diplomasi yang cukup melelahkan dan memakan waktu sampai 5 bulan.
b. Menjelajah Nusantara dengan tujuan menggembleng para pemuda dan kyai untuk meningkatkan perjuangan kemerdekaan. Penggemblengannya meliputi aspek kekuatan politik, jasmani, dan rohani bagi warga NU. Secara rohaniyah, misalnya beberapa Wirid, Hizib, dan Doa diajarkan secara intensif kepada mereka yang memerlukannya. Dari situlah tersusun pasukan Peta Laskar Hizbullah pimpinan Zainul Arifin, Laskar Sabilillah pimpinan KH. Masykur, serta Barisan Kyai yang dipimpin oleh KH. Wahab Hasbullah.
Akhirnya, pejuang yang dikenal punya daya tahan tinggi dan tak mengenal lelah itu meninggal dunia. Mereka meninggal dunia tak lama setelah pemerintahan Orde Baru terbentuk. Jelasnya, mereka meninggal dunia pada tanggal 9 Desember 1971 di Tambak Beras, Jombang 4 hari setelah berlangsungnya Muktamar NU di tahun 1971.
Sumber :
- Saifuddin Zuhri, K.H. 1972. Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangan di Indonesia. Bandung: Al-Ma'arif.
- Saifullah Ma'shum (Ed). 1419 H/1998 M. Karisma Ulama. Bandung: Mizan.
- Solihin Salam. 1977. Kudus Purbakala dalam Perjoeangan Islam. Kudus: Menara.
- Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. 1992. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Komentar